Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal 11 Tembang Macapat Lengkap Dengan Contohnya

Traveloffline.us - Tembang Macapat. Macapat adalah tembang atau puisi tradisional yang berasal dari jawa. Pada setiap bait tembang macapat memiliki baris kalimat yang disebut dengan istilah gatra, dan setiap gatra memiliki sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu dan yang berakhir pada bunyi sajak akhir disebut sebagai guru lagu.

Tembang Macapat Lengkap Dengan Contohnya

Macapat juga bisa ditemukan dengan nama lain yang ada dalam seni kebudayaan Bali, sasak, sunda dan Madura. Selain itu macapat juga bisa ditemukan di Banjarmasin dan Palembang.

Kemunculan tembang macapat diperkiraan pada akhir dari kepemimpinan majapahit dan dimulainya pengaruh walisanga. Karya-karya kesusastraan klasik Jawa pada masa Mataram Baru, biasanya ditulis menggunakan metrum macapat.

Yaitu sebuah tulisan berbentuk prosa atau gancaran yang pada umumnya tidak diakui sebagai karya sastra namun, hanya sejenis daftar isi saja. Beberapa contoh karya sastra berbahasa jawa yaitu seperti serat wulangreh, selat kalatidha, serat wedhatama dan lainya.

Puisi tradisional bahasa jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga macam, yaitu tembang cilik, tembang tengahan dan tembang gedhe. Macapat digolongkan dalam kategori tembang cilik dan tengahan, sedangkan tembang gedhe berdasar kepada kakawin atau puisi tradisional jawa kuno.

Akan tetapi dalam penggunaanya pada zaman mataram baru tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun suku kata pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga dapat merujuk pada kidung, puisi tradisional dalam bahasa jawa pertengahan.

Jika dibandingkan dengan kakawin, peraturan dalam tembang macapat jauh berbeda dan dalam penerapanya juga lebih mudah menggunakan bahasa jawa. Karena berbeda dengan kakawin yang didasarkan pada bahasa sansekerta, di dalam tembang macapat tidak perlu memperhatikan suku kata panjang dan pendek.

# Tembang Macapat Secara Bahasa

Tembang macapat sering diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu maksudnya adalah cara membacanya setiap empat suku kata.

Akan tetapi hal ini bukanlah satu-satunya arti, ada juga penafsiran yang lain.

Arti lainya adalah bahwa pat merujuk kepada jumlah diakritis (sandangan) dalam aksara jawa yang sesuai dalam penembangan macapat.

Menurut serat mardawalugu, yang dikarang oleh Ranggawarsita, macapat merupakan kependekan dari frasa maca-pat-lagu yang memiliki arti “melagukan nada keempat”.

Selain maca-pat-lagu, masih ada lagi maca-sa-lagu, maca-tri-lagu dan maca-ro-lagu. Menurut sejarah maca-sa termasuk kategori tertua yang diciptakan oleh para dewa.

Lalu kemudian diturunkan kepda pandita walmiki setelah itu baru dimulai diperbanyak oleh sang pujangga istana yogiswara dari Kediri. Faktanya, ini termasuk kategori yang sekarang disebut sebagai tembang gedhe.

Maca ro termasuk tipe tembang gedhe yang mana jumlah bait per pupuh dapat kurang dari empat sedangkan jumlah suku kata dalam setiap bait tidak selalu sama dan diciptakan oleh Yogiswara.

Maca tri atau tembang ke tiga  adalah tembang tengahan yang menurut sejarah diciptakan oleh Resi Wiratmaka, pandita istana Janggala dan diselesaikan oleh pangeran Panji Inokartapati bersama saudaranya.

Dan pada akhirnya macapat atau yang biasa dikenal dengan tembang cilik diciptakan oleh sunan Bonang dan kemudian diturunkan kepada para wali yang lain.

# Sejarah Tembang Macapat

Seni Karawitan adalah salah satu seni di pulau Jawa yang keberadaanya masih sangat dibutuhkan hingga sekarang oleh sebagian masyarakat baik untuk sarana spiritual ataupun sebagai hiburan.

Sebagai sarana spiritual misalnya untuk mengiringi lagu-lagu Ibadat Ekarisiti atau Misa di gereja-gereja katolik dan digunakan untuk sarana hiburan seperti hajatan, upacara pernikahan (mantenan), khinatan (supitan), iringan tari (karawitan tari) dan iringan wayang (karawitan pakeliran).

Hal ini menunjukan bahwa karawitan mempunyai toleransi yang cukup berpengaruh dengan budaya masyarakat dan mampu beradaptasi sesuai kemajuan jaman.

Sajian seni karawitan berupa gending atau lagu, yaitu susunan nada dalam karawitan Jawa yang berupa instrument dengan menggunakan laras slendro dan pelog.

Gending dapat dipertunjukan dengan bentuk instrumentalia (gending yang ditampilkan hanya menggunakan gamelan) dan ditampilkan dalam bentuk vocal (ditampilkan hanya dengan tembang).

Adapun vocal di dalam seni karawitan bisa berupa solo vocal ataupun dalam bentuk gerongan atau koor, sedangkan untuk syairnya bisa berupa wangsalan purwa kanthi ataupun sekar tengahan dan sekar macapat.

Pada awalnya jenis tembang-tembang tersebut memiliki fungsi masing-masing. Tembang Gedhe (Sekar Ageng), Tembang Tengahan (Sekar Tengahan), berfungsi sebagai bawa swara (solo vocal sebagai pembuka gending ataupun buka).

Sedangkan Tembang Macapat (sekar macapat) ditembangkan dengan cara lepas (tanpa ada iringan gamelan) biasanya digunakan untuk acara ritual seperti, kidung rahayu yang ditembangkan untuk meminta keselamatan dan dijauhkan dari bencana.

Salah satu contoh syairnya sebagai berikut.

Ana kidung rumêksa ing wêngi,

têguh hayu luputa ing lara,

luputa bilahi kabèh,

jim sétan datan purun,

panêluhan tan ana wani,

miwah panggawé ala,

gunané wong luput,

gêni atêmahan tirta,

maling adoh tan ana ngarah mring kami,

tuju duduk pan sirna (Anonim, tanpa tahun: 1).

Di samping itu tembang macapat juga sering dilantumkan pada acara-acara seperti wungon tirakatan oleh orang-orang jawa, pada waktu kelahiran bayi (bayenan) atau juga upacara jagong bayi di rumah orang yang baru saja melahirkan (jagongan bayen).

Tujuan dilakukanya tembang macapat ini agar si bayi yang baru saja lahir diberi keselamatan dan kesehatan.

Acara seperti ini bahkan ada yang melakukanya selama 35 hari (selapan). Yang digunakan untuk menembang biasanya dari serat makukuhan, serat ambiya, serat rama dan lainya.

Seiring dengan berjalanya waktu, tembang macapat yang biasanya digunakan sebagai sarana ritual akhirnya muncul kesenian yang disebut Langen Mandrawanara di keratin kesultanan Yogyakarta dan Langendriyan di Surakarta.

Dengan menggunakan tembang macapat sebagai pengganti dialog tokoh wayang yang keluar pada setiap adegan.

Lagu dan cengkok pada nyanyian kedua genre seni tersebut beda dengan cengkok ataupun lagu macapat. Jenis-jenis tembang macapat diantaranya

(1) Mijil;                                   (2) Maskumambang;

(3) Sinom;                                (4) Asmarandana;

(5) Kinanthi;                            (6) Gambuh;

(7) Dhandhanggula;                (8) Durma;

(9) Pangkur;                            (10) Mêgatruh;

(11) Pocung.

Sesuai dengan sifat dan tradisinya, maka tembang-tembang tersebut mempunyai aturan yang bersifat mengikat seperti guru wilangan (jumlah suku kata pada setiap baris), guru lagu (persajakan).

# Jenis-jenis Tembang Macapat

Tembang macapat memiliki beberapa jenis. Masing-masing jenis tembang tersebut mempunyai aturan yaitu berupa guru lagu dan guru wilangan dan masing-masing berbeda dengan yang lain.

Yang paling dikenal kalangan luas adalah tembang macapat yang berjumlah 11 jenis. Yaitu mijil, megatruh pucong dan lainya.

Berikut jenis tembang macapat serta penjelsanya :

1. Tembang Mijil

Tembang macapat mijil merupakan tembang yang menceritakan kisah hidup seseorang yang digambarkan seperti sebuah biji atau benih baru lahir ke dunia.

Tembang macapat Mijil menjadi gambaran dimulainya kisah perjalanan anak seorang manusia yang masih suci dan masih membutuhkan perlindungan.

Contoh Tembang Mijil

Tembang Mijil memiliki kaidah / Wewaton : 10i – 6o – 10e – 10i – 6i – 6o

Deda lanne guna lawan sekti

Kudu andhap asor

Wani ngalah dhuwur wekasane

Tumungkulla yen dipundukanni

Ruruh sarwa wasis

Samubarangipun

Poma kaki dipun eling (10i)

Ing pitutur ingong (6o)

Sira uga satriya arane (10e)

Kudu anteng jatmika ing budi (10i)

Ruruh sarta wasis (6i)

Samubarangipun (6o)

Kedua lirik diatas mempunyai makna sebuah nasehat yang baik supaya bisa selalu diingat. Seseorang yang memiliki budi pekerti yang luhur, ramah dan beretika bisa disebut sebagai kesatria.

Watak tembang Mijil

Mempunyai watak atau karakter yang menggambarkan keterbukaan untuk menyajikan suatu nasehat atau kisah dan juga tentang asmara.

2. Tembang Maskumambang

Maskumambang adalah sebuah bagian dari tembang macapat yang mengisahkan awal mula perjalanan hidup seorang manusia yang masih berupa embrio di dalam kandungan sang ibu.

Dan masih belum diketahui jati dirinya atau apakah ia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Maskumambang merupakan kata yang berasal dari kata mas dan kumambang.

Kata mas memiliki arti masih belum bisa diketahui jenis kelaminya laki-laki atau perempuan. Sedangkan kata kumambang memiliki arti hidup yang mengambang atau masih bergantung di dalam kandungan sang ibu atau alam rahim.

Contoh tembang mas kumambang:

Kelek-kelek biyung sira aneng ngendi (12i)

Enggal tulungana (6a)

Awakku kecemplung warih (8i)

Gulagepan wus meh pejah (8o)

Maksud dari isi tembang mas kumambang di atas adalah seseorang yang benar-benar sedang memerlukan pertolongan karena terhanyut di sungai dan hampir tenggelam.

Wong tan manut pitutur wong tuwa ugi

Ha nemu duraka

Ing donya tumekeng akhir

Tan wurung kasurang-surang

Lirik di atas mempunyai maksud tentang akibat orang yang tidak patuh terhadap orang tua. Seorang anak yang durhaka tentu akan memperoleh kesengsaraan, baik di dunia ataupun di akherat.

Dhuh anak mas sira wajib angurmati

Marang yayah rena

Aja pisan kumawani

Anyenyamah gawe susah

Maksud lirik di atas adalah pesan yang diberikan kepada seorang anak yang seharusnya bisa menghormati orang tuanya. Jangan sampai seoarng anak berani melawan orang tuanyakarena bisa mengakibatkan hal yang uruk pada dirinya.

3. Tembang Kinanthi

Kata kinanthi merupakan kata yang berasal dari “kanthi” yang mempunyai makna menggandeng atau menuntun. Kinanthi merupakan suatu kisah yang menggambarkan kehidupan seorang anak yang masih memerlukan untuk dituntun agar bisa menjalani kehidupan dengan baik di dunia ini.

Tuntunan yang diperlukan seorang anak tidaklah sekedar untuk belajar berjalan saja, namun juga tuntunan untuk bisa mengetahui dan memahami berbagai norma dan adat yang berlaku dalam masyarakat.

Sehingga ia bisa mematuhi dan melaksanakan apa yang telah ia pelajari dalam kehidupan ini. Tembang kinanthi mempunyai kaidah / Wewaton: 8u – 8i – 8a – 8i – 8a – 8i

Sedangkan dari segi wataknya, kinanti memiliki karakter cenderung untuk mengungkapkan nuansa yang menyenangkan, kasih saying dan kecintaan dan juga teladan hidup.

Contoh Tembang Kinanthi:

Kagyat risang kapirangu

Rinangkul kinempi-kempit

Duh sang retnaning bawana

Ya ki tukang walang ati

Ya ki tukang ngenes ing tyas

Ya ki tukang kudu gering

Anoman malumpat sampun (8u)

Prapteng witing nagasari (8i)

Mulat mangandhap katingal (8a)

Wanodya yu kuru aking (8i)

Gelung rusak wor lan kisma (8a)

Kang iga-iga kaeksi (8i)

4. Tembang Gambuh

Kata gambuh memiliki makna menyambungkan. Tembang gambuh menceritakan perjalanan hidup seorang yang telah menemukan kekasihnya.

Maka keduanya bisa dipertemukan untuk menjalin ikatan yang lebih skral yaitu dengan cara menikah. Dengan demikian keduanya bisa menjalani hidup bersama dan mendapatkan kehidupan yang langgeng.

Karakter tembang gambuh adalah tentang keramahan dan persahabatan. Tembang gambuh juga bisa digunakan untuk menyampaikan kisah kehidupan.

Contoh Tembang Gambuh (7u – 10u – 12i – 8u – 8o)

Lan sembah sungkem ipun

Mring Hyang Sukma elinga sireku

Apan titah sadaya amung sadermi

Tan welangsira andhaku

Kabeh kagungan Hyang Manon

5. Tembang Dhandanggula

Tembang mcapat dandang gula mempunyai makna yang indah. Kata dandanggula berasal dari kata gegadhangan yang bermakna cita-cita, harapan atau angan-angan. Sedangkan kata gula yaitu manis, indah atau menyenangkan.

Selain memiliki arti harapan yang indah, beberapa kalangan ada juga mengartikan dandanggula berasal dari kata dhandang yang bermakna pucung gagak yang melambangkan duka, dan gula bermakna manis, yang melmbangkan suka.

Jadi maksudnya, kebahagiaan bisa diperoleh setelah sepasang kekasih telah melalui suka duka dalam berumah tangga sehingga akan tercipta cita-citanya.

Watak tembang dandanggula adalah gembira, indah dan luwes sangat cocok digunakan sebagai  pembuka untuk mengajak kepada kebaikan, ungkapan rasa cinta dan kebahagiaan.

Ciri-cirinya Mempunyai Guru Gatra : 10 baris setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 10, 10, 8, 7, 9, 7, 6, 8, 12, 7 (artinya baris pertama terdiri dari 10 suku kata, baris kedua berisi 10 suku kata, dan seterusnya…) Mempunyai Guru Lagu : i, a, e, u, i, a , u, a, i, a (artinya baris pertama berakhir dengan vokal i, baris kedua berakhir vokal a)

Contoh tembag macapat Dandanggula :

amun sira ameguru kaki (apabila engkau meminta nasehat dariku)

Amiliha manungsa sanyata (Pilihlah manusia sejati)

Ingkang becik martabate (Yang baik martabatnya)

Sarta weruh ing ukum (Serta mengetahui hukum)

Kang ibadah lan kang wirangi (Yang taat beribadah dan menjalankan ajaran agama)

Sukur oleh wong tapa ingkang wus amungkul (sukur jika mendapat orang suka perihatin yang telah mumpuni)

Tan gumantung liyan (Yang tidak menggantungkan kepada orang lain)

Iku wajib guronana kaki (Kepadanyalah engkau harus berguru)

Sartane kawruhanana (Serta belajar padanya)

6. Tembang Durma

Tembang mcapat durma adalah tembang yang mengisahkan tentang seseorang yang mendapat segala kenikmatan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Biasanya ketika manusia dalam kondisi kesulitan ia bisa mengingat Penciptanya dan ia akan lupa ketika ia berada pada titik kesenangan.

Memang seharusnya, ketika manusia berada dalam kondisi serba kecukupan ia akan bersyukur, namun pada kenyataanya malah justru sebaliknya. Biasanya ia malah akan berlaku sombong, serakah, angkuh dan suka mengumbar hawa nafsu, berbuat semena-mena terhadap orang lain.

Sifat-sifat yang kurang baik inilah yang digambarkan di dalam tembang durma. Durma bagi beberapa kalangan dimaknai sebagai munduring tatak rama (mundurnya tata karma). Tembang macapat durma biasanya untuk menggambarkan sifat-sifat semangat perang, berontak dan amarah.

Ia akan menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berperilaku buruk egois dan hanya semaunya sendiri.

Ciri dari tembang macapat Durma adalah : Mempunyai Guru Gatra : 7 baris setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 12, 8, 6, 7, 8, 5, 7 (artinya baris pertama terdiri dari 12 suku kata, baris kedua berisi 8 suku kata, dan seterusnya…) Mempunyai Guru Lagu : a, i, a, a, i, a, i (artinya baris pertama berakhir dengan vokal a, baris kedua berakhir vokal i).

7. Tembang Pangkur

Tembang mcapat pangkur banyak dipakai pada tembang yang mempunyai nuansa pitutur (nasihat), cinta dan pertemanan. Baik perasaan terhadap seorang anak, pasangan hidup, Tuhan dan semesata alam.

Banyak orang yang memaknai tembang macapat pangkur sebagai tembang yang menceritakan tentang orang yang telah masuk kepada usia senja, dimana orang tersebut mulai untuk mungkur atau sudah mulai meninggalkan hal-hal duniawi.

Oleh karena itu banyak tembang macapat pangkur yang berisi nasehat-nasehat yang diperuntukan pada generasi muda. Contoh tembang pangkur yang cukup popular dikalangan masyarakat yaitu karya darsi KGPAA mangkunegoro IV yang ditulis dalam serat Wedatama, Pupuh I yaitu.

Mingkar-mingkuring ukara. (Membolak-balikkan kata)

Akarana karenan mardi siwi. (Karena akan mendidik seorang anak)

Sinawung resmining kidung. (Tersirat di dalam indahnya tembang)

Sinuba sinukarta. (Dihias penuh warna )

Mrih kretarta pakartining ilmu luhung. (Supaya menjiwai hakekat ilmu luhur)

Kang tumrap ing tanah Jawa. (Yang berada di tanah Jawa/nusantara)

Agama ageming aji. (Agama “pakaian” diri)

Jinejer ing Wedhatama. (Tersaji dalam serat Wedhatama)

Mrih tan kemba kembenganing pambudi. (Supaya jangan miskin budi pekerti)

Mangka nadyan tuwa pikun. (Padahal meskipun tua dan pikun)

Yen tan mikani rasa. (bila tak memahami rasa)

Yekti sepi sepa lir sepah asamun (Tentu sangat kosong dan hambar sebagaimana ampas buangan)

Samasane pakumpulan. (Ketika dalam pergaulan)

Gonyak-ganyuk nglelingsemi. (Terlihat bodoh memalukan)

Nggugu karsane priyangga. (Menuruti keinginan sendiri)

Nora nganggo peparah lamun angling. (Tanpa tujuan apabila berbicara)

Lumuh ingaran balilu. (Tidak mau dibilang bodoh)

Uger guru aleman. (Seolah pintar supaya dipuji)

Nanging janma ingkang wus waspadeng semu, (Tapi manusia yang telah mengetahui akan gelagatnya)

Sinamun samudana. (Malah merendahkan diri)

Sesadoning adu manis. (Menanggapi semuanya dengan baik)

Si pengung nora nglegewa. (Si bodoh tidak menyadari)

Sangsayarda denira cacariwis. (Semakin menjadi dalam membual)

Ngandhar-andhar angendukur. (bicaranya ngelantur kesana-kemari)

Kandhane nora kaprah. (Ucapannya salah kaprah)

Saya elok alangka longkangipun. (Semakin sombong bicaranya tanpa jeda)

Si wasis waskitha ngalah. (Si bijak memilih mengalah)

Ngalingi marang sipingging. (Menutupi tingkah laku si bodoh)

Mangkono ilmu kang nyata. (Seperti itulah ilmu yang benar)

Sanyatane mung we reseping ati. (Sejatinya hanya digunakan untuk menentramkan hati)

Bungah ingaran cubluk. (Senang apabila dianggap bodoh)

Sukeng tyas yen den ina. (Senang dihati jika dihina)

Nora kaya si punggung anggung gumunggung, (Tidak seperti Si bodoh yang haus pujian)

Ugungan sadina dina. (Ingin dipuji tiap hari)

Aja mangkono wong urip. (Jangan seperti itu manusia hidup)

Uripe sapisan rusak. (Hidup sekali rusak)

Nora mulur nalare ting saluwir. (Tak berkembang pikiranya berantakan)

Kadi ta guwa kang sirung. (Seperti gua gelap yang angker)

Sinerang ing maruta. (Diterjang angin)

Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung. (Bergemuruh bergema tanpa makna)

Pindha padhane si mudha. (Seperti itulah anak muda kurang ilmu)

Prandene paksa kumaki. (Tapi sangat angkuh)

8. Tembang Megatruh

Tembang macapat megatruh adalah satu tembang yang menceritakan manusia ketika dalam kondisi sakaratul maut. Kata megatruh sendiri berasal dari kata megat/pegat yang bermakna berpisah dan ruh yang artinya nyawa, jadi megatruh adalah berpisahnya antara jiwa dan raga.

Kematian menjadi hal yang paling ditonjolkan dalam tembang megatruh. Kondisi dimana semua yang bernyawa di muka bumi ini akan mengalaminya. Proses yang menyakitkan sekaligus proses yang menegangkan bagi kebanyakan orang, proses terbukanya gerbang menuju kehidupan yang kekal dan tiada akhirnya.

Menurut para pemuka agama bahwa ruh akan lepas dengan mudah dan ringan bagi mereka yang memiliki iman dan ketaatan. Bagi orang-orang yang beriman, malaikat akan datang dan mencabut nyawanya dengan kesan baik dan menggembirakan.

Tidak ada yang tahu kapan ajal tersebut akan datang menghampiri kita. Namun itu adalah suatu kepastian yang akan terjadi. Yang diperlukan hanyalah selalu mempersiapkan bekal untuk menyambutnya. Karakter tembang macapat megatruh adalah sedih, menyesal, prihatin dan semisal yang lain.

Ciri-ciri tembang megatruh adalah Mempunyai Guru Gatra : 5 baris setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 12, 8, 8, 8 (artinya baris pertama terdiri dari 12 suku kata, baris kedua berisi 8 suku kata, dan seterusnya…) Mempunyai Guru Lagu : u, i, u, i, o (artinya baris pertama berakhir dengan vokal u, baris kedua berakhir vokal i,)

Contohnya

sigra milir kang gèthèk sinangga baju

lkawan dasa kang njagèni

ing ngarsa miwah ing pungku

rtanapi ing kanan kéri

ngkang gèthèk lampahnya alon

9. Tembang Pocung

Tembang pucung atau biasa juga ditulis pocung memiliki makna yaitu pocong atau orang yang telah meninggal. Bagi orang jawa, ruh yang telah keluar dari badanya, akan dirawat dan disucikan sebelum ia dikembalikan ke tempat asalnya yaitu tanah.

Sebelum dikuburkan, jasad tersebut akan dimandikan, dibungkus dengan kain kaffan putih sebagai lambang kesucian dan kemudian disholatkan. Tembang pucung adalah tembang yang digunakan untuk mengingatkan bahwasanya semua mahluk yang bernyawa akan menemui ajalnya atau akan datangnya kematian.

Kita manusia yang hidup hanya sementara di dunia ini, pasti suatu saat akan berpisah dengan segala sesuatu yang dicintai semasa hidupnya.

Dari mulai harta, benda, anak, istri, keluarga, jabatan dan lainya tidak bisa dibawa sebagai bekal untuk menuju akherat yang kekal kecuali hanya satu yaitu iman.

Tembang macapat pucung selain mempunyai sifat jenaka, berisi tebakan dan hal lucu lainya, tembang ini juga biasanya banyak digunakan untuk menyampaikan nasehat, berisi berbagai ajaran manusia supaya mampu membawa diri untuk mengarungi kehidupan dengan harmonis lahir maupun batin.

Ciri-ciri Tembang Pocung

Mempunyai Guru Gatra : 4 baris pada setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 12, 6, 8, 12 (maknanya baris pertama terdiri dari 12 suku kata, baris kedua berisi 6 suku kata, dan seterusnya…) Mempunyai Guru Lagu : u, a, i, a (maknanya baris ke satu berakhir dengan vokal u, baris kedua berakhir vokal a,)

Berikut beberapa contoh macapat pucung serta artinya yang diambil dari serat Wulangreh karya Sri Susuhunan Pakubuwana IV, Raja Surakarta.

Ngelmu iku kalakone kanthi laku. (Ilmu itu hanya bisa diraih dengan cara dilakukan dalam perbuatan)

Lekase lawan kas. (Dimulai dengan keinginan)

Tegese kas nyantosani. (Maknanya keinginan yang menguatkan)

Setya budaya pangekese dur angkara. (Keikhlasan budi serta usaha ialah penakluk kejahatan)

Angkara gung neng angga anggung gumulung. (Kejahatan besar dalam tubuh kuat menggelora)

Gegolonganira. (Menyatu dengan diri sendiri)

Triloka lekeri kongsi. (Menjangkau sampai 3 dunia)

Yen den umbar ambabar dadi rubeda. (Apabila dibiarkan akan berkembang menjadi bencana)

Beda lamun kang wus sengsem reh ngasamun. (Namun berbeda dengan yang sudah menyukai menyepi)

Semune ngaksama. (Terlihat sifat pemaaf)

Sasamane bangsa sisip. (Sesama manusia yang penuh salah)

Sarwa sareh saking mardi martatama. (Selalu bersikap sabar dengan jalan memprioritaskan sikap rendah hati)

Taman limut durgameng tyas kang weh limput. (Dalam kabut kegelapan, angkara dihati yang selalu menghalangi)

Karem ing karamat. (Larut dalam kesakralan hidup)

Karana karoban ing sih. (Karena temggelam dalam kasih sayang)

Sihing sukma ngrebda saardi pengira. (Kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung)

Yeku patut tinulat tulat tinurut. (Sebenarnya itulah yang pantas untuk dilihat, dicontoh dan patut ditiru)

Sapituduhira. (Sebagai nasehatku)

Aja kaya jaman mangkin. (Jangan seperti zaman kelak)

Keh pra mudha mundhi diri Rapal makna. (Banyak anak muda menyombongkan diri dengan hafalan arti)

Durung becus kesusu selak besus. (Belum pantas tergesa-gesa untuk berceramah)

Amaknani rapal. (Memaknai hafalan)

Kaya sayid weton mesir. (Seperti sayid dari Mesir)

Pendhak pendhak angendhak Gunaning jalma. (Setiap saat meremehkan kemampuan orang lain)

10. Tembang Asmaradana

Macapat asmaradana merupakan tembang yang banyak mengisahkan gejolak asmara yang dialami manusia.

Sesuai dengan maknanya, asmaradana berasal dari kata asmara yang berarti asmara sedangkan dahana bermakna api asmara.

Sebagaimana kehidupan manusia, ia digerakan oleh cinta, asmara dan welas asih. Banyak orang yang mempercayai bahwa dengan kekuatan cinta apa saja bisa dilakukan.

Tidak hanya cinta kepada sesama manusia, tapi cinta terhadap Sang Pencipta, cinta terhadap Rosulullah dan alam semesta.

Macapat asmaradana juga biasa disebut sebagai Asmarandana, yaitu lagu kasmaran yang sering dipakai seseorang untuk mengungkapkan cintanya.

atau terkadang juga bisa untuk lagu sedih karena kecewa patah hati, pasangan bahagia, cintanya ditolak atau sebuah pengharapan terhadap pasangan.

Ciri tembang macapat asmaradana ialah

Mempunyai Guru Gatra : 7 baris setiap bait

Mempunyai Guru Wilangan : 8, 8, 8, 8, 7, 8, 8 (artinya baris pertama terdiri dari 8 suku kata, baris kedua berisi 8 suku kata)

Mempunyai Guru Lagu : a, i, e , a, a, u, a (artinya baris pertama berakhir dengan vokal a, baris kedua berakhir dengan vokal i).

11. Tembang Sinom

Tembang macpat sinom adalah tembang yang banyak menceritakan tentang seorang anak muda yang sedang dalam proses pertumbuhan.

Di usianya ini biasanya ia sedang dalam masa pencarian jati diri, masih banyak bertanya tentang “siapa akau” sehingga ia akan mencari sosok yang bisa menjadi panutan atau teladan bagi dirinya.

Ciri-ciri Tembang Sinom sebagai berikut:

Mempunyai Guru gatra: 9 baris setiap bait (Maknanya tembang Sinom ini memiliki 9 larik atau baris kalimat).

Mempunyai Guru Wilangan: 8, 8, 8, 8, 7, 8, 7, 8, 12 (Maknanya baris pertama terdiri dari 8 suku kata, baris kedua berisi 8 suku kata, dan seterusnya).

Mempunyai Guru Lagu: a, i, a, i, i, u, a, i, a (Maknanya baris pertama berakhir dengan vokal a, baris kedua berakhir vokal i, dan seterusnya).

Salah satu contoh tembang macapat sinom yang cukup terkenal adalah karya KGPAA Mangkunegoro ke IV (1811-1882 M) yang tertulis di dalam Serat Wedatama, Pupuh Sinom, podo 15.

Tembang ini biasa dikenal dengan sebutan Sinom Gadhung Melati.

Nulada laku utama

(Contohlah tingkah laku yang utama)

Tumrape wong tanah Jawi

(Bagi orang di tanah Jawa)

Wong agung ing Ngeksiganda

(Orang besar dari Ngeksiganda/Mataram)

Panembahan Senopati

(Panembahan Senopati)

Kepati amarsudi

(Sangat tekun dalam berusaha)

Sudane hawa lan nepsu

(Mengurangi hawa nafsu)

Pinepsu tapa brata

(Dengan cara berlaku prihatin/bertapa)

Tanapi ing siyang ratri

(yang dilakukan siang dan malam)

Amamangun karyenak tyasing sesami

(Berkarya untuk membangun ketenteraman hati sesama)

Dalam tembang tersebut bisa ditafsirkan untuk mengajak para generasi muda untuk meneladani sifat dan perilaku raja Mataram yang bernama Penembahan Senopati.

Pada masa hidupnya Panembahan Senopati adalah orang yang mempunyai kebiasaan menata diri dengan berperilaku prihatin, meditasi dan bertapa.

Bagi orang jawa berperilaku prihatin merupakan salah satu ikhtiar untuk bisa mengendalikan hawa nafsu, baik yang berupa hawa nafsu amarah, nafsu bersikap mala, nafsu terhadap lawan jenis,  ataupun keserakahan dalam hal makan dan tidur.

Hawa nafsu merupakan sebuah anugerah yang diberikan Allah supaya digunakan oleh manusia sebagaimana mestinya.

Dalam pupuh sinom di atas tersimpan pesan, yang isinya, dengan berusaha untuk prihatin baik waktu siang ataupun malam, maka akan mententramkan hati diri sendiri dan juga orang lain.

Orang yang sudah bisa mengontrol diri dan hawa nafsunya akan lebih bijaksana dalam bersikap. Perilaku bijaksana inilah yang akan menentramkan hati.